Demokrasi Tanpa Toleransi

Hmm… Sebenarnya antara malas dan bingung mau berkomentar apa tentang borok negara ini. Namun, kejadian demi kejadian yang terjadi membuat saya gemas dan gatal untuk berkomentar. Hanya saja, saya memang bukan pada kapasitas untuk mengomentari dari sudut pandang ahli atau akademisi. Ini hanya buah pikiran dari rasa kesal yang mengendap di kepala saya.

Lagi-lagi, saya merasa biang keladinya adalah salah tafsir mengenai demokrasi oleh masyarakat di negara ini. Topik mengenai demonstrasi sebagai bagian dari demokrasi pernah saya tulis bulan Oktober lalu di sini. Kali ini pun, saya menganggap segala tindak anarkis dan kerusuhan yang terjadi merupakan bentuk pengertian demokrasi yang salah sejak mulanya.

Berdasarkan J. Kristiadi dalam Demokrasi dan Etika Bernegara, demokrasi merupakan sistem manajemen kekuasaan yang dilandasi nilai-nilai dan etika serta peradaban yang menghargai martabat manusia. Jika berdasarkan alm. Gus Dur, dulu beliau pernah mengatakan bahwa landasan demokrasi itu adalah keadilan, dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang, yaitu otonomi atau kemandirian orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya sesuai yang dia ingini.

Jika mengutip buku Pendidikan Kewarganegaraan SD terbitan Yudhistira, ciri-ciri negara demokrasi adalah: 1. adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung, 2. adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang, 3. adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara, 4. adanya pemiliha umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.

Akan tetapi, sebagian masyarakat Indonesia menganggap demokrasi sebagai alasan untuk bertindak semaunya, sekehendaknya, sebebas-bebasnya. Oke, memang demokrasi memberikan peluang bagi masyarakat untuk hidup sesuai yang diinginkan. Namun, itu juga berarti kita harus siap membuka diri untuk menerima semua perbedaan,  bertoleransi. Nah, di Indonesia, toleransi untuk menghargai perbedaan dan menerima keberagamanlah yang belum banyak diimani oleh masyrakatnya. Setiap perbedaan justru dijadikan celah untuk menyerang dan mencari pembenaran diri sendiri.

Apa susahnya, sih, belajar untuk lebih menghargai perbedaan? Nggak usah dalam lingkup seluruh umat beragama atau seluruh suku maupun etnis tertentu, belajar dalam lingkup kecil seperti pertemanan pribadi saja, deh. Coba tengok, seumur hidup sampai sekarang, saya punya teman-teman  dari latar belakang keluarga, suku, etnis, dan agama yang berbeda-beda. Tapi, saya nggak pernah melihat perbedaan itu sebagai sesuatu yang harus dibesar-besarkan. Kami semua rukun dan bahagia berteman hingga kini. Saling mengucapkan selamat saat masing-masing merayakan hari raya, menghargai tradisi dan adat yang berbeda-beda, menaruh perhatian dan simpati jika ada yang mengalami musibah. Hal itu terjadi secara alami tanpa perlu embel-embel dan saya bangga akan keberagaman dan keunikan pribadi masing-masing dari mereka.

Dalam keluarga saya sendiri, agama, etnis, dan ras kami sudah bercampur dan berasimilasi dengan banyak kebudayaan, ras, serta etnis di Indonesia. Keluarga saya pun tidak seragam. Kulit kami berbeda-beda, kepercayaan kami berbeda-beda, otomatis adat dan tradisi kami pun berkembang dan semakin beragam. Sejauh ini, kami tidak pernah mempemasalahkan perbedaan tersebut.

Tidakkah orang-orang tersebut memiliki teman bahkan saudara yang juga berbeda? Alangkah tidak berwarnanya dunia jika semua sama dan seragam. Bukankah keberagaman itu yang menjadikan kita kaya?

Keinginan untuk menciptakan kedamaian dalam kasih datangnya dari dalam hati, demikian halnya kebencian.  Nggak perlu memperkeruh suasana dengan membawa embel-embel dan atribut agama, ras, atau etnis tertentu. Toh, Tuhan kita nggak perlu dibela. Setiap INDIVIDU bertanggung jawab atas keputusannya masing-masing dalam memilih, kasih atau benci, yang nantinya harus dipertanggungjawabkan sendiri di hadapan Sang Maha Kuasa.

 

One thought on “Demokrasi Tanpa Toleransi

  1. Sayangnya…masih mudah ditemui orang-orang yang merasa lebih aman dan nyaman ketika mereka berada pada lingkaran sosial yang homogen. Mereka merasa lebih baik semua SAMA seperti mereka. Perbedaan adalah ancaman buat orang seperti mereka. Kalau sudah begini, sulit sekali membuka pemahaman pada diri mereka bahwa pluralisme atau kebhinekaan adalah bagian dari bangsa Indonesia.

    Kita yang terbiasa hidup dalam kemajemukan pasti akan sangat tidak nyaman berada pada lingkungan seperti itu kan? 😦

Leave a reply to Anindita Cancel reply